“Sahkan Rancangan Undang-Undang Pendidikan dan Layanan Psikologi”
Berita RUU PLP masih sangat ramai diperbincangkan di media-media tanah air, yang sebagian besarnya meliputi harapan dari pihak-pihak tertentu untuk mendorong DPR segera mengesahkan RUU ini. Tak ayal kita sebagai orang baru yang berkecimpung di dunia psikologi menjadi penasaran, seperti apakah RUU Praktis Psikologi ini? Kenapa hingga kini RUU PLP belum disahkan langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat?
Secara sistematis RUU tentang Pelayanan dan Praktik Psikologi ini terdiri dari 12 Bab dan 67 Pasal. 12 Bab di antaranya membahas tentang; Ketentuan Umum; Praktik Psikologi, Standar Praktik Psikologi, Hak dan Kewajiban; Uji Kompetensi Berkelanjutan; Organisasi Profesi; Pembinaan; Ketentuan Pidana; Ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup.
Berdasarkan Rapat Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Konsepsi RUU tentang Profesi Psikologi yang diselenggarakan oleh DPR RI tanggal 5 Februari 2020, ada beberapa fenomena yang melatarbelakangi terbentuknya RUU Profesi Psikologi.
Fenomena tersebut diantaranya adalah:
1. Dalam peran profesi Psikologi dibutuhkan standar kualitas layanan jasa dan praktik profesi Psikologi untuk melindungi pengguna.
2. Tenaga profesi psikologi yang mempunyai keahlian dan kewenangan yang berbeda. Hal ini membutuhkan standar kompetensi dan kewenangan yang berbeda dalam layanan jasa dan praktik profesi psikologi, seperti pengaturan hukum tentang cakupan profesi psikologi.
3. Banyaknya jumlah lulusan pendidikan tinggi Psikologi dalam berbagai jenjang dan jenis pendidikan sehingga diperlukan pencatatan tenaga profesi psikologi untuk memberikan perlindungan profesi.
4. Mulai banyak psikolog asing yang melakukan layanan jasa dan praktik profesi Psikologi di Indonesia.
5. Beragamnya kualitas Pendidikan tinggi Psikologi di Indonesia dalam berbagai jenjang sehingga diperlukan penjagaan standar kompetensi tenaga kerja profesi Psikologi untuk memelihara kompetensi dan profesionalitas psikolog.
Seperti yang kita ketahui bersama, RUU PLP yang awalnya bernama RUU Profesi Psikologi, diajukan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ke DPR pada 6 Maret 2019. RUU tersebut kemudian diusulkan oleh Desy Ratnasari dari Fraksi Amanat Nasional dan disetujui sebagai RUU usul inisiatif DPR oleh Badan Legislatif DPR pada 29 Juni 2020.
Dilansir dari news.detik.com 12 April 2022, Kompleksitas masalah dalam praktik psikologi membuat RUU Praktik Psikologi tak kunjung disahkan meski beberapa kali sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Komisi X DPR yang menjadi pembahas RUU tersebut menemukan banyak masalah salah satunya adanya undang-undang dan peraturan lainnya yang sudah mengatur praktik psikolog klinis.
Diskusi singkat yang dilakukan oleh bidang Pengkajian dan Penalaran dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Psikologi Islam ini menuai berbagai macam pendapat dari ketua-ketua lembaga dari program studi Psikologi. Salah satunya datang dari mantan ketua HMPS 2020- 2021 juga sebagai Koordinator Provinsi dalam ILMPI wilayah 6, Dede Solihin.
Dede menekankan dalam pendapatnya, bahwa belum ada aturan-aturan yang banyak mengarah ke pelanggaran hukum yang di mana pelakunya harus ditegasi dan tidak boleh berkeliaran bebas begitu saja.
“Jadi seperti kita ketahui bersama bahwa dalam psikologi itu belum ada aturan-aturan yang mengatur terkait banyak hal, semisal mal praktik (praktik bodong), pendidikan psikologi, terus izin layanan psikologi dan lain-lain. Nah,kalau ini dibiarkan terus maka para pelanggar aturan bakal bebas berkeliaran,” kata Dede.
“Urgensi dari harus disahkannya RUU PLP ini adalah untuk menjadi payung hukum bagi para psikolog khususnya yg membuka layanan psikologi atau yang bekerja sebagai konselor di instansi-instansi terkait. Bukan hanya itu, RUU ini juga memuat pasal-pasal yang menjelaskan jenjang pendidikan dalam ilmu psikologi, sehingga kita sebagai mahasiswa bakal tau setelah lulus porsi-porsi kerja kita sebenarnya dimana nih,” lanjutnya menutup pendapat tentang RUU tersebut.
Sementara itu dari ketua bidang Pengkajian dan Penalaran, Nurlaila Yusuf, turut memberi pendapatnya dalam hal tersebut.
“Kalau RUU tidak disahkan, bagaimana kita sebagai mahasiswa psikologi ke depannya? Apalagi, banyak psikolog asing yang melakukan layanan jasa dan praktik profesi psikologi di Indonesia, bagaimana dengan kita yang nantinya ketika lulus ingin mendapat pekerjaan tetapi sudah diambil oleh para psikolog asing, bukankah itu hal yang harus dipertimbangkan?” Responnya dengan cepat.
Tanpa dikaitkan dengan kepesatan perkembangan internet pun, A.C.A. de Moraes Weintraub (2011), dalam sebuah kajian di Haiti dan Republik Demokratik Kongo, sudah mencatat bahwa psikolog asing telah banyak berkiprah di berbagai negara, khususnya dalam konteks bencana kemanusiaan. Dalam hal ini, psikolog asing hadir bukan secara perorangan atau klinis, melainkan sebagai anggota dari tim-tim nasional. Bergabung dalam tim nasional untuk memberikan layanan psikologis merupakan sebuah keniscayaan logis.
Banyak harapan dari teman-teman mahasiswa psikologi untuk disahkannya RUU PLP yang dilayangkan di diskusi tersebut. Dede Solihin juga turut melontarkan harapannya ketika nanti RUU Praktik Psikologi ini disahkan.
“Semoga RUU ini segera dapat disahkan agar kedepan kita sebagai calon-calon lulusan psikologi bisa terjamin prospeknya, serta kita bakal punya payung hukum yang kuat dalam bidang psikologi baik itu di pendidikan, praktik dan layanan psikologi lainnya sehingga bisa menjaga kualitas kepuasaan dari para klien (menjaga kepercayaan klien),” ujar Dede.
Ia juga menambahkan, “satu lagi, harapannya semoga dengan disahkannya RUU PLP ini, bidang psikologi lebih banyak diminati masyarakat,” imbuhnya mengakhiri diskusi tersebut.
Selama ini hanya kode etik psikolog yang menaungi hal ini bagi anggota HIMPSI saja, selain dari anggota tidak ada peraturan tegas mengenai profesi psikologi.
Apabila RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas ini selesai, fungsinya selain melindungi masyarakat juga psikolog mendapatkan kepastian hukum mengenai statusnya sebagai sebuah profesi.
Sertifikasi oleh Dikti/LIPI sebagai Lektor/Penata Untuk Bidang Psikologi yang kemudian dilegalisasikan oleh Himpsi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu jalur (path) hanya jika dibutuhkan untuk mempertegas keprofesian Psikolog Akademik.
Usulan sebutan Psikolog yang tidak terbatas pada psikolog praktik klinis dapat dipertanggungjawabkan karena bila kita tilik sesungguhnya Psikolog Akademik dan Psikolog Terapan memiliki ketertutupan keahlian yang jelas, yakni yang menyangkut objek yang berupa dinamika intrapsikis yang tidak shared (terbagi) dengan keahlian akademisi atau praktisi dari bidang ilmu yang lain.
Pengambilan profesi setelah S1 sangat memudahkan mahasiswa dalam mendapatkan pekerjaan yang layak tanpa harus melanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu S2, dengan adanya RUU PLP ini akan ada yang mengatur perundang-undangan mengenai psikolog yang dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para psikolog, masyarakat dan pemerintahan.